PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Ditulis oleh: Dr. Abdul Rachmad Budiono, S.H., M.H.Dosen Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Email: rachmad.budiono@ub.ac.id
PENDAHULUAN
Istilah hubungan industrial terdapat dalam tiga undang-undang, yaitu (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Perselisihan yang timbul karena adanya hubungan industrial ini disebut perselisihan hubungan industrial (lihat pasal 1 angka 16 Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997, pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, dan pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004). Undang-undang yang disebutkan pertama dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang yang disebutkan kedua (pasal 192 angka 13).
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesungguhnya di antara tiga unsur tersebut, yaitu (1) pengusaha, (2) pekerja/buruh, dan (3) pemerintah, mungkin saja terjadi perselisihan. Perselisihan bisa saja terjadi antara pengusaha dengan buruh, pengusaha dengan pemerintah, dan buruh dengan pemerintah. Dari tiga kemungkinan ini ternyata hanya perselisihan antara pengusaha dengan buruh saja yang merupakan perselisihan hubungan industrial. Dua perselisihan lainnya bukan merupakan perselisihan hubungan industrial. Hal ini didasarkan pada pengertian perselisihan hubungan industrial menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 (pasal 1 angka 22) juncto Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (pasal 1 angka 1). Menurut dua undang-undang ini perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Berdasarkan rumusan ini, khusus untuk perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja, dapat ditarik unsur-unsur pembentuk perselisihan hubungan industrial, yaitu:
1. Formalitas : perbedaan pendapat yang mengakibatkanpertentangan;
2. Subjek hukum : pengusaha atau gabungan pengusaha di satu pihak dengan buruh atau serikat buruh di pihak lain;
3. Objek : perusahaan. perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat buruh dalam satu.
Apabila tiga unsur pembentuk itu muncul, maka muncullah perselisihan hubungan industrial, khusus perselisihan hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja. Ada perbedaan mengenai perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan. Unsur pembentuk perselisihan hubungan industrial khusus perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan adalah (berdasarkan pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004):
- Formalitas : perselisihan;
- Subjek hukum : serikat buruh di satu pihak dengan serikat buruh lainnya di pihak lain dalam satu perusahaan;
- Objek : tidak ada persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatburuhan.
Karena ada perbedaan ini sesungguhnya menurut struktur ketatabahasaan rumusan pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tidak tepat. Hal ini karena berdasarkan rumusan tersebut seolah-olah seluruh perselisihan hubungan industrial bersubjek hukum pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh, padahal kenyataannya ada perselisihan hubungan industrial yang bersubjek hukum serikat buruh dengan serikat buruh lain dalam satu perusahaan. Berdasarkan penafsiran sistematis, terutama dengan mengaitkan pasal 1 angka 1 dengan pasal 1 angka 5, diperoleh pengertian bahwa dalam perselisihan hubungan industrial ada dua kemungkinan subjek hukum, yaitu (1) antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh, dan (2) antara serikat buruh dengan serikat buruh lain dalam satu perusahaan.
Di masa lalu, berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, istilah yang digunakan adalah perselisihan perburuhan. Menurut undang-undang ini perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (pasal 1 ayat (1) huruf c). Berdasarkan rumusan ini buruh perseorangan tidak dapat tampil sebagai pihak dalam perselisihan perburuhan. Hal ini juga ditegaskan dalam Memori Penjelasan undang-undang tersebut, yaitu bahwa undang-undang ini hanya meliputi perselisihan antara majikan dan serikat buruh; perselisihan antara majikan dan buruh perseorangan atau segerombolan buruh tidak diliput oleh undang-undang ini (angka 5 huruf a).
Di samping itu, kalau dilihat latar belakang kelahiran undang-undang tersebut memang yang dimaksudkan hanya perselisihan antara majikan dengan serikat buruh.[1] Pada tahun lima puluhan, sebagaimana diterangkan dalam “Memori Penjelasan” undang-undang tersebut, perselisihan perburuhan yang benar dan penting yang disertai pemogokan-pemogokan mulai timbul setelah pengakuan kedaulatan, karena kaum buruh dan rakyat pada umumnya dengan penuh kesadaran akan harga pribadinya mulai membelokkan perhatiannya ke arah perjuangan di lapangan sosial-ekonomi.
Berdasarkan pengertian perselisihan perburuhan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957, dalam berbagai kepustakaan, perselisihan perburuhan dibedakan menjadi dua, yaitu (1) perselisihan hak atau rechtsgeschillen, dan (2) perselisihan kepentingan atau belangengeschillen. D Berdasarkan hal ini ternyata di masa lalu pun ada perselisihan hak maupun perselisihan kepentingan. Jika dibandingkan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, perbedaannya terletak pada penegasannya. Di masa lalu penegasan adanya dua perselisihan itu terdapat di dalam doktrin, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 dua hal tersebut tercantum secara tersurat (eksplisit). Di samping itu, mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu Undang-undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1964 tidak mengenal perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan. […bersambung]
[1] Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 156.
Recent Comments